Kamis, 08 Desember 2011

Cerpen Cerpen Cerpen

Gubuk Kecil Pak Jenggot

“Sepak terjang keadilan jangan menjadi sebuah teater, tapi keadilan yang beku dan dingin! Saat ini negara kita telah bermain sandiwara! Dimana-mana tikus berdasi berkeliaran, menginjak-injak keadilan sedangkan kejahatan diberhalakan. Dan kita sebagai masyarakat Indonesia jangan mau diperlakukan seperti itu. Keadilan harus ditegakkan!” kata salah satu dari masyarakat Medan yang sudah bercambang jenggot, dan rambut yang sudah memutih tetapi beliau tetap semangat bagai harimau ompong yang masih terdapat sisa-sisa keperkasaannya kepada para pembela kebenaran lainnya.
“Ya, betul itu.” Sorak mereka yang membenarkan perkataan Bapak yang biasa dipanggil Pak Jenggot itu.
Sebelum mereka berjalan menuju gedung-gedung bertingkat, mereka berdoa agar tindakan mereka tidak sia-sia. Berakhirnya doa telah memulai langkah mereka untuk bertindak menaklukan kejahatan.
Matahari mulai membidik tubuh ibarat kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Panasnya sang surya tak mematahkan semangat mereka. Tepat di depan Kantor Pengadilan, mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan. Berteriak, mengaum, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa dipimpin oleh Pak Jenggot yang berdiri di baris depan dan memegang sebuah toak sambil berkata:
“Tegakkan keadilan para tikus berdasi!”
“Betul. Tegakkan keadilan dan bunuh kemiskinan!” Timpal yang lain.
Keributan itu membuat segelintir pejabat yang berada di dalam Kantor keluar. Ini kesempatan Pak Jenggot dan para pencari keadilan lainnya melontarkan cacian, makian dan amarah mereka pada badut-badut serakah itu.
“Kami mencari keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini!” tegas Pak Jenggot.
“Ya, betul.” Sorak para pencari keadilan.
“Bagaimana tindakan kalian terhadap semua ini? Kami tidak terima! Apabila kami melakukan kejahatan kecil, hukuman yang diberikan sangat tegas. Tetapi para pejabat yang memiliki banyak uang, mereka membeli hukum dengan uang! Semua dibayar dengan uang! Karena uang!” tambah Hamim.
“Dimana letak keadilan sebenarnya yang tidak membedakan usia, harta, pangkat dan semua? Seharusnya kalian memburu pencuri-pencuri keadilan itu! Jadilah penegak keadilan yang bersih selalu berhasil membela kebenaran!” amarah Tono dengan nafas tak teratur.
Amarahnya sudah tak bisa terbendung lagi. Tangannya mengambil batu besar di bawah kakinya. Sekejap saja batu itu terbang ke kepala salah satu pejabat yang tak berambut. Dia terjatuh. Darah di kepalanya mengalir deras. Dia digotong menuju mobil mewah yang berada di pelataran parkir Kantor Pengadilan. Hal itu membuat para pencari keadilan lainnya melepaskan poster-poster dan mengambil batu di bawah kaki mereka. Melihat hal itu para satpam beraksi. Mereka berusaha menghentikan kerusuhan itu. Namun gagal. Mereka kalah jumlah dengan para pencari keadilan.
Suasana di halaman Kantor Pengadilan semakin panas. Kaca-kaca kantor berpecahan dan teras kantor dipenuhi batu-batu yang memecahkan keramik mahal. Tetapi setelah si botak belum ada korban yang berjatuhan. Tiba-tiba polisi datang.
Tor. Tor.”
Suara letusan pistol terdengar di antara kerumunan. Mereka berlari. Tanpa memikirkan alas kaki yang tertinggal.
“Siapa yang tertembak?” tanya Tono.
“Tidak tahu Ton.” jawab Pak Wanto.
“Mau kemana kamu Ton?” tanya pemuda yang bernama Hamim.
“Kalian lari saja! Aku ingin kesana!” suruhnya.
“Ayah jaga mereka, aku akan melihat siapa yang terkena tembakan itu.” Mata Tono melirik dari sudut ke sudut. Akan tetapi wajah Ayahnya tak tampak.
“Ayah! Ayah! Ayah! Dimana kau?” teriaknya.
“Mim, kau lihat ayahku?” tanyanya pada Hamim.
“Tidak.” Jawabnya.
“Jangan jangan Pak Jenggot...” timpalnya lagi dengan suara pelan.
“Apa? Tidak mungkin! Ayah. Ayah. Ayah. Dimana kau?” teriaknya sambil berusaha melepaskan tubuhnya dari terkaman Hamim.
Tubuhnya yang kurus, membuatnya sulit untuk melepas terkaman Hamim yang berbadan besar dan tegap. Keinginannya yang kuat, tekadnya yang bulat dan amarah yang tak teredam, akhirnya dia mampu terlepas dari terkaman Hamim.
Dia berlari sekencang-kencangnya menuju tempat ayahnya tergeletak. Dia terus berlari memanggil-manggil Ayahnya.
“Ayah! Ayah! Jangan tinggalkan Tono. Apa yang akan Tono katakan kepada Ibu dan adik-adik tentang hal ini.”
Matanya merah. Menahan bulir-bulir bening yang sedari tadi ingin terjun bebas. Nafasnya yang ngos-ngosan tidak mematahkan tekadnya untuk melihat Ayahnya yang telah tertembak polisi bajingan itu.
Belum sampai ke tempat ayahnya tergeletak. Tiba-tiba Polisi menghadang dan menangkapnya.
“Lepaskan!”
“Kalian betul-betul keterlaluan! Seharusnya tembakan itu kalian tujukan kepada para perusak negara kita! Bukan orang yang tak bersalah seperti ayahku. Atau...” perkataannya terhenti. Dia mengatur nafas yang telah lelah berlari. Detik itu pula kata kasar berlapis emosi yang dilontarkannya berubah menjadi lambut disertai tawa. Lalu berulang lagi dengan amarah.
 “Atau kalian polisi yang memberhalakan kejahatan juga? Haha. Sungguh menyedihkan.” tawanya sambil meremas-remas rambutnya.” Dia menangis, tertawa, marah seperti orang gila.
“Sekali lagi kau bicara. Peluru ini akan menembus kepalamu.” bentak salah satu polisi yang menodongkan pistol ke kepalanya.
Dia hanya terdiam dan senyum-senyum sendiri. Dia pun dibawa ke Kantor Polisi.

***
Langit biru tiba-tiba menjadi kelabu. Angin kencang pun terdengar menderu, menyapu tebaran sampah dan mengguncang keras pohon-pohon di pinggir jalan. Para pencari keadilan berjalan lesu, murung, dan berantakan tanpa ada tetes kegembiraan di wajah mereka.
“Sia-sia usaha kita hari ini. Pak jenggot telah meninggal dan anaknya Tono ditangkap oleh polisi berengsek itu!” kata Pak Wanto lesu.
“Apa yang akan kita katakan pada ibu dan adiknya Tono? Mereka pasti sedih mendengar hal ini.” tanya Hamim.
“Kita katakan saja yang sejujurnya. Itu yang terbaik.” Jawab Mira, dia satu-satunya perempuan yang ikut rombongan itu.
“Ya betul itu.” Timpal yang lain.
Senja yang kelabu. Sejengkal lagi malam tiba. Rona merah lembayung begitu indah tersemburat dengan sempurna akan tetapi tak seindah perasaan mereka saat ini. Mereka telah sampai. Tempat mereka berdiri sebelum beraksi “Gubuk kecil Pak Jenggot”. Dari dalam gubuk keluar seorang wanita tua berjilbab yang berjalan dengan kursi rodanya didampingi oleh Tina adik perempuan Tono.
“Bagaimana perjuangan kalian hari ini? Pasti berhasil? Kalian tampak lelah. Ayo masuk! Kalian minum dulu.” kata Ibu Tono.
“Tono, ajak mereka masuk.” Kejadian tujuh tahun lalu membuat Ibu Tono tak dapat melihat.
Sore itu. Dia berjalan dengan perutnya yang buncit karena sedang mengandung Tina adik Tono. Dia baru saja pulang dari pasar membeli perlengkapan bayi. Dokter mengatakan bayi yang ada dalam kandungannya akan segera lahir dalam waktu tiga hari ini. Sewaktu menyeberang, tiba-tiba dari persimpangan, datang ke arahnya sebuah Truk minyak dengan supir yang sedang berbicara dengan teman di sampingnya. Kecelakaan pun tak dapat dihindarkan. Kejadian itu membuatnya kehilangan kedua mata dan kakinya.
“Dimana bang Tono?” tanya Tina.
“Bawa masuk Ibumu.” bisik Pak Wanto.
Tina mengangguk.
“Kenapa Tina? Ada apa dengan Tono?” desak Ibu. Naluri keibuannya membuat dia yakin, ada sesuatu yangterjadi.
“Tono ditangkap oleh Polisi. Sedangkan Pak Jenggot tertembak dan meninggal.” jawab Pak Wanto.
“Ayah? Ditembak?
“Sedari tadi ayah berada di dalam kamar. Penyakit ayah kambuh. Kata ayah, dia sengaja pulang tidak pamit dengan para rombongan karena tidak mau merepotkan.” kata Tina.
Hah.” teriak mereka.


*Suryani Hanum Sidabutar adalah mahasiswa FBS jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia UNIMED.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coretan Koment Anda