Gubuk Kecil Pak Jenggot
“Sepak terjang
keadilan jangan menjadi sebuah teater, tapi keadilan yang beku dan dingin! Saat
ini negara kita telah bermain sandiwara! Dimana-mana tikus berdasi berkeliaran,
menginjak-injak keadilan sedangkan kejahatan diberhalakan. Dan kita sebagai
masyarakat Indonesia jangan mau diperlakukan seperti itu. Keadilan harus
ditegakkan!” kata salah satu dari masyarakat Medan yang sudah bercambang
jenggot, dan rambut yang sudah memutih tetapi beliau tetap semangat bagai
harimau ompong yang masih terdapat sisa-sisa keperkasaannya kepada para pembela
kebenaran lainnya.
“Ya, betul itu.”
Sorak mereka yang membenarkan perkataan Bapak yang biasa dipanggil Pak Jenggot
itu.
Sebelum mereka
berjalan menuju gedung-gedung bertingkat, mereka berdoa agar tindakan mereka
tidak sia-sia. Berakhirnya doa telah memulai langkah mereka untuk bertindak
menaklukan kejahatan.
Matahari mulai
membidik tubuh ibarat kue bolu yang disirami panas agar merekah wangi. Panasnya
sang surya tak mematahkan semangat mereka. Tepat di depan Kantor Pengadilan,
mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan. Berteriak,
mengaum, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa dipimpin oleh Pak
Jenggot yang berdiri di baris depan dan memegang sebuah toak sambil berkata:
“Tegakkan keadilan
para tikus berdasi!”
“Betul. Tegakkan
keadilan dan bunuh kemiskinan!” Timpal yang lain.
Keributan itu
membuat segelintir pejabat yang berada di dalam Kantor keluar. Ini kesempatan
Pak Jenggot dan para pencari keadilan lainnya melontarkan cacian, makian dan
amarah mereka pada badut-badut serakah itu.
“Kami mencari
keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini!” tegas Pak Jenggot.
“Ya, betul.” Sorak
para pencari keadilan.
“Bagaimana tindakan
kalian terhadap semua ini? Kami tidak terima! Apabila kami melakukan kejahatan
kecil, hukuman yang diberikan sangat tegas. Tetapi para pejabat yang memiliki
banyak uang, mereka membeli hukum dengan uang! Semua dibayar dengan uang!
Karena uang!” tambah Hamim.
“Dimana letak
keadilan sebenarnya yang tidak membedakan usia, harta, pangkat dan semua?
Seharusnya kalian memburu pencuri-pencuri keadilan itu! Jadilah penegak
keadilan yang bersih selalu berhasil membela kebenaran!” amarah Tono dengan
nafas tak teratur.
Amarahnya sudah tak
bisa terbendung lagi. Tangannya mengambil batu besar di bawah kakinya. Sekejap
saja batu itu terbang ke kepala salah satu pejabat yang tak berambut. Dia
terjatuh. Darah di kepalanya mengalir deras. Dia digotong menuju mobil mewah
yang berada di pelataran parkir Kantor Pengadilan. Hal itu membuat para pencari
keadilan lainnya melepaskan poster-poster dan mengambil batu di bawah kaki
mereka. Melihat hal itu para satpam beraksi. Mereka berusaha menghentikan
kerusuhan itu. Namun gagal. Mereka kalah jumlah dengan para pencari keadilan.
Suasana di halaman
Kantor Pengadilan semakin panas. Kaca-kaca kantor berpecahan dan teras kantor
dipenuhi batu-batu yang memecahkan keramik mahal. Tetapi setelah si botak belum
ada korban yang berjatuhan. Tiba-tiba polisi datang.
“Tor. Tor.”
Suara letusan pistol
terdengar di antara kerumunan. Mereka berlari. Tanpa memikirkan alas kaki yang
tertinggal.
“Siapa yang
tertembak?” tanya Tono.
“Tidak tahu Ton.”
jawab Pak Wanto.
“Mau kemana kamu
Ton?” tanya pemuda yang bernama Hamim.
“Kalian lari saja!
Aku ingin kesana!” suruhnya.
“Ayah jaga mereka,
aku akan melihat siapa yang terkena tembakan itu.” Mata Tono melirik dari sudut
ke sudut. Akan tetapi wajah Ayahnya tak tampak.
“Ayah! Ayah! Ayah!
Dimana kau?” teriaknya.
“Mim, kau lihat
ayahku?” tanyanya pada Hamim.
“Tidak.” Jawabnya.
“Jangan jangan Pak
Jenggot...” timpalnya lagi dengan suara pelan.
“Apa? Tidak mungkin!
Ayah. Ayah. Ayah. Dimana kau?” teriaknya sambil berusaha melepaskan tubuhnya
dari terkaman Hamim.
Tubuhnya yang kurus,
membuatnya sulit untuk melepas terkaman Hamim yang berbadan besar dan tegap.
Keinginannya yang kuat, tekadnya yang bulat dan amarah yang tak teredam,
akhirnya dia mampu terlepas dari terkaman Hamim.
Dia berlari
sekencang-kencangnya menuju tempat ayahnya tergeletak. Dia terus berlari
memanggil-manggil Ayahnya.
“Ayah! Ayah! Jangan
tinggalkan Tono. Apa yang akan Tono katakan kepada Ibu dan adik-adik tentang
hal ini.”
Matanya merah.
Menahan bulir-bulir bening yang sedari tadi ingin terjun bebas. Nafasnya yang ngos-ngosan tidak mematahkan tekadnya
untuk melihat Ayahnya yang telah tertembak polisi bajingan itu.
Belum sampai ke
tempat ayahnya tergeletak. Tiba-tiba Polisi menghadang dan menangkapnya.
“Lepaskan!”
“Kalian betul-betul
keterlaluan! Seharusnya tembakan itu kalian tujukan kepada para perusak negara
kita! Bukan orang yang tak bersalah seperti ayahku. Atau...” perkataannya
terhenti. Dia mengatur nafas yang telah lelah berlari. Detik itu pula kata
kasar berlapis emosi yang dilontarkannya berubah menjadi lambut disertai tawa.
Lalu berulang lagi dengan amarah.
“Atau kalian polisi yang memberhalakan
kejahatan juga? Haha. Sungguh menyedihkan.” tawanya sambil meremas-remas
rambutnya.” Dia menangis, tertawa, marah seperti orang gila.
“Sekali lagi kau bicara.
Peluru ini akan menembus kepalamu.” bentak salah satu polisi yang menodongkan
pistol ke kepalanya.
Dia hanya terdiam
dan senyum-senyum sendiri. Dia pun dibawa ke Kantor Polisi.
***
Langit biru
tiba-tiba menjadi kelabu. Angin kencang pun terdengar menderu, menyapu tebaran
sampah dan mengguncang keras pohon-pohon di pinggir jalan. Para pencari
keadilan berjalan lesu, murung, dan berantakan tanpa ada tetes kegembiraan di
wajah mereka.
“Sia-sia usaha kita
hari ini. Pak jenggot telah meninggal dan anaknya Tono ditangkap oleh polisi
berengsek itu!” kata Pak Wanto lesu.
“Apa yang akan kita
katakan pada ibu dan adiknya Tono? Mereka pasti sedih mendengar hal ini.” tanya
Hamim.
“Kita katakan saja
yang sejujurnya. Itu yang terbaik.” Jawab Mira, dia satu-satunya perempuan yang
ikut rombongan itu.
“Ya betul itu.”
Timpal yang lain.
Senja yang kelabu.
Sejengkal lagi malam tiba. Rona merah lembayung begitu indah tersemburat dengan
sempurna akan tetapi tak seindah perasaan mereka saat ini. Mereka telah sampai.
Tempat mereka berdiri sebelum beraksi “Gubuk kecil Pak Jenggot”. Dari
dalam gubuk keluar seorang wanita tua berjilbab yang berjalan dengan kursi
rodanya didampingi oleh Tina adik perempuan Tono.
“Bagaimana
perjuangan kalian hari ini? Pasti berhasil? Kalian tampak lelah. Ayo masuk!
Kalian minum dulu.” kata Ibu Tono.
“Tono, ajak mereka
masuk.”
Kejadian tujuh tahun lalu membuat Ibu Tono tak dapat
melihat.
Sore itu. Dia
berjalan dengan perutnya yang buncit karena sedang mengandung Tina adik Tono.
Dia baru saja pulang dari pasar membeli perlengkapan bayi. Dokter mengatakan
bayi yang ada dalam kandungannya akan segera lahir dalam waktu tiga hari ini.
Sewaktu menyeberang, tiba-tiba dari persimpangan, datang ke arahnya sebuah Truk
minyak dengan supir yang sedang berbicara dengan teman di sampingnya. Kecelakaan
pun tak dapat dihindarkan. Kejadian itu membuatnya kehilangan kedua mata dan
kakinya.
“Dimana bang Tono?”
tanya Tina.
“Bawa masuk Ibumu.”
bisik Pak Wanto.
Tina mengangguk.
“Kenapa Tina? Ada
apa dengan Tono?” desak Ibu. Naluri keibuannya membuat dia yakin, ada sesuatu
yangterjadi.
“Tono ditangkap oleh
Polisi. Sedangkan Pak Jenggot tertembak dan meninggal.” jawab Pak Wanto.
“Ayah? Ditembak?
“Sedari tadi ayah
berada di dalam kamar. Penyakit ayah kambuh. Kata ayah, dia sengaja pulang
tidak pamit dengan para rombongan karena tidak mau merepotkan.” kata Tina.
“Hah.” teriak mereka.
*Suryani
Hanum Sidabutar adalah mahasiswa FBS jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia UNIMED.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Coretan Koment Anda