KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam disampaikan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini akan dibahas “Penganalisisan Novel angkatan Balai Pustaka dan
Pujangga Baru”.
Makalah ini dibuat dalam rangka
memperdalam pemahaman mengenai
pemanfaatan Sastra Bandingan dalam proses belajar mengajar dalam lembaga
pendidikan formal.
Dalam proses pendalaman materi
ini, tentunya saya mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi dan saran, untuk itu saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu terselesaikannya makalah ini. “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh
karena itu saya harap pembaca mau memberikan kritik ataupun saran agar nantinya
makalah ini dapat jauh lebih baik lagi. Demikian makalah ini saya buat semoga
bermanfaat.
Medan,
7 Desember 2011
Penulis
Suryani Hanum Sidabutar
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sastra
Bandingan secara garis besar mempunyai dua hal yang menjadi kajian inti dari
sastra bandingan sebagai suatu displin ilmu. Pertama, persoalan mengenai konsep
dari sastra bandingan tersebut dan permasalahan yang kedua adalah apakah
perbandingan yang telah dilakukan itu hanya sebatas perbandingan yang sifatnya
tekstual?
Namun,
dalam proses penganalisisan suatu karya sastra untuk membandingakan dua
atau lebih karya sastra diperlukan penganalisisan persamaan antara kedua atau
lebih karya sastra. Berbeda halnya dengan penganalisisan perbedaan karya sastra
yang satu dan yang lain, hal itu disebut dengan pertentangan pada karya sastra.
Akan tetapi pada makalah ini penulis menggunakan kedua cara penganalisisan
karya sastra tersebut. Penulis akan menganalisis persamaan dan perbedaan antara
kedua karya sastra dengan cara membandingkan dan mempertentangkan karya sastra
tersebut.
Pada
makalah ini penulis menganalisis novel zaman Balai Pustaka dan Novel Pujangga
Baru. Penulis juga memilih penganalisisan pada Novel Balai Pustaka berjudul “
Azab dan Sengsara “ karya Merari Siregar sedangkan novel Pujangga Baru berjudul
“ Dian yang Tak Kunjung Padam “ karya Sutan Takdir Alisyahbana. Yang menjadi
penganalisisisan kedua novel tersebut adalah berdasarkan bentuk dan isi.
Berdasarkan bentuk yaitu bahasa, sedangkan berdasarkan isi yaitu tema.
- Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1.
Apakah ada persamaan
isi yaitu tema novel Balai Pustaka berjudul “Azab dan Sengsara” dengan novel
Pujangga Baru berjudul “Dian yang Tak Kunjung Padam?
2.
Bagaimanakah
pengungkapan bahasa pada kedua novel tersebut? Apakah terdapat kesamaan dalam
hal tersebut?
PEMBAHASAN
- Persamaan dan Perbedaan Novel Balai Pustaka ( Azab dan Sengsara ) dan Novel Pujangga Baru ( Dian yang Tak Kunjung Padam )
- Analisis Berdasarkan Isi
Penganalisisan isi terdiri atas tema. Jika dibaca
secara detail dan seksama, novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan anak muda masih ditentukan
oleh orang tua mereka. Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (Aminuddin
dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling mencintai sejak di
bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin dengan orang yang
bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa menerima gadis
pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam hidupnya. Pihak
gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir
dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Isi novel ini juga sudah tidak lagi menceritakan hal
yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar
terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua
tentang akibat
kawin paksa dan masalah adat. Merari
Siregar sendiri membuat novel ini karena ia menjumpai kepincangan-kepincangan,
melihat keadaan suku bangsanya yang tidak sesuai dengan tuntunan zaman khususnya
mengenai adat, misalnya kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat
lingkungannya. Hati kecilnya ingin mengubah cara pandang kurang baik khususnya
orang-orang di daerah Sipirok, karena ia dilahirkan di Sipirok, Tapanuli,
Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896.
Karya sastra yang muncul pada zaman Balai Pustaka ini
juga masih terpengaruh oleh keadaan sekitar atau budaya di lingkungan
masyarakat penulis. Akan tetapi isi dan bentuknya sudah modern. Pemodrenan ini
dimungkinkan karena penulis bergaul dengan karya sastra barat, khususnya sastra
belanda. Karena novel Azab dan Sengsara muncul ketika Belanda sedang
melaksanakan politik etisnya. Hal itu terlihat dari kesadaran individu yang
tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita ingin
menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan
masyarakat. Kemandirian tokoh-tokoh itu dapat dilihat dalam novel Azab dan
Sengsara seperti yang tampak pada tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama
Mariamin terlihat ketika ia memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat
kawin paksa lewat pengajuan cerai.
Sama halnya dengan novel Azab dan Sengsara, jika
dibaca secara detail dan seksama, novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan
Takdir Alisyahbana juga bertemakan tentang Kawin Paksa. Ketika perjodohan anak muda juga
ditentukan oleh orang tuanya. Cinta yang tak sampai antara kedua anak muda (
Yasin dan Molek ), karena rintangan orang tua. Keluarga Molek tidak menyetujui
hubungannya dengan Yasin. Hal itu dikarenakan status sosial mereka yang berbeda.
Pihak gadis (Molek) dipaksa kawin dengan orang yang tak dicintai, yang berakhir
dengan kekerasan dalam rumah tangga dan Molek meninggal karena merana.
Karya sastra pada zaman Pujangga Baru ini muncul
ketika penjajahan jepang. Maka dari itu novel ini memancarkan jiwa yang dinamis,
individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi (tidak seperti halnya dengan
novel Azab dan Sengsara yang berisi tentang adat istiadat orang Batak). Di
samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat pada novel ini adalah kebudayaan
dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan
kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal. Isi
novel ini juga tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan
semangat kebangunan bangsa Indonesia
pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan. Di sisi lain, corak lukisannya
bersifat romantis idealistis.
- Analisis Berdasarkan Bentuk
Penganalisisan bentuk terdiri atas bahasa. Jika dibaca
secara detail dan seksama, novel Azab dan Sengsara ini memiliki cirri khas
tersendiri dalam pengungkapan bahasanya. Bahasa yang digunakan penulis dominan
menggunakan bahasa yang bersifat membujuk, mempengaruhi sikap pembacanya. Hal
ini terlihat pada potongan novel di bawah ini:
“Kalau ada perselisihan, selesaikanlah dengan jalan damai, panggil orang
tua-tua sekampung, mereka itu nanti memutuskannya dengan baik. Kerugian tiada
berapa, pikiran tiada susah dan kita kembali hidup damai. Inilah untung yang
teramat besar di dunia dan akhirat. Perhatikanlah hai saudara-saudaraku!” (hal:
31)
Merari Siregar juga ingin menggugah hati para pembaca
tentang penderitaan akibat kawin paksa dari penggambaran kesengsaraan tokoh
utama Mariamin. Novel ini juga mengungkapkan ikatan adat tokoh Mariamin mulai
menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam novel ini digambarkan tetap
teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suaminya
karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Dalam novel ini Merari Siregar sangat sering
menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada
hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud penulis menyusun novel itu
sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada
bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan hal
tersebut.
"Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan
kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengahtengah bangsaku, lebih-lebih
di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." (permulaan kalam hal:7)
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang." (permulaan kalam hal:7)
Selain pengungkapan tentang menguatnya kesadaran
individu dan menipisnya kesadaran adat, novel ini juga sangat kuat diwarnai
penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara
lain, tercermin dalam penggunaan pantun, syair dan pribahasa. Hal itu terlihat
pada potongan novel di bawah ini:
“Siapa yang menang perkara menjadi bara, dan yang kalah menjadi abu.”
(hal:31)
“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, Angkang.” (hal:32)
“Lain padang lain belalang,
lain tanah lain lembaganya,” kata pribahasa. (hal:33)
“ Jeruji dengan durinya,
Di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya,
Seperti bulan dengan matahari. ” (hal:70)
Novel ini banyak menggunakan bahasa percakapan dan
mengakibatkan bahasa tidak terpelihara kebakuannya. Kalimat-kalimatnya
panjang-panjang. Pengungkapannya banyak menggunakan perbandingan-perbandingan
dan melukiskan sesuatu yang diperjuangkan secara berlebih-lebihan.
Gaya
penceritaan novel ini terpengaruh oleh sastra Melayu yang mendayu-dayu, dan
sering menggunakan istilah pada bahasa batak. Misalnya penggunaan kata
Anggi(adik), Angkang(abang/kakak), Martandang (mengunjungi orang), pemakaian
nama menurut kebiasaan batak yaitu satu nama pada waktu mudanya/ sebelum kawin,
nama kedua setelah sudah kawin, dan masih banyak istilah lain yang digunakan
pada novel ini.
Pada novel Dian yang Tak Kunjung Padam karya Sutan ali
syahbana sering menggunakan bahasa individual, penulis membiarkan pembaca
mengambil simpulan sendiri, tokoh-tokoh hidup/bergerak, pembaca seolah-olah
diseret ke dalam suasana pikiran tokoh-tokohnya, mengutamakan jalan pikiran dan
kehidupan tokoh-tokohnya. Dengan kata lain mengutamakan psikologi. Psikologi
pada novel ini menjelaskan seluk beluk kehidupan batin manusia. Meskipun
karyanya imajinatif akan tetapi tokoh dalam novel ini diberi karakter dan
bertingkah laku seperti manusia yang hidup di dunia nyata.
Bahasa yang dipakai pada novel ini adalah bahasa Indonesia
modern. Gaya
bahasan novel ini sudah tidak menggunakan perumpamaan, pepatah, dan peribahasa
(tidak seperti novel Azab dan Sengsara). Berbentuk prosa baru yang bersifat
dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat). Alur novel
ini lurus saja, berbeda halnya dengan
novel Azab dan Sengsara yang memiliki alur maju mundur. Tidak banyak
sisipan-sisipan cerita sehingga alurnya menjadi lebih erat. Sudut pandang pada
novel ini adalah orang ketiga, sama halnya dengan novel Azab dan Sengsara.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Novel Balai Pustaka dan Pujangga Baru memiliki perbedaan dan persamaan.
Namun pada Novel Azab dan Sengsara (BP) dengan novel Dian yang Tak Kunjung
Padam (PB) memiliki tema yang sama dan terdapat banyak kesamaan pada isi
cerita, akan tetpai dilihat dari bentuk penceritaannya dan bahasa terdapat
perbedaan yang sangat konkret. Hal itu terlihat pada gaya bahasa, pribahasa, pantun atau
ungkapan-ungkapan yang digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Coretan Koment Anda